Jumat, 27 November 2015

Hukum Kopi Luwak

Hukum mengkonsumsi kopi luwak adalah BOLEH (halal).

Dengan syarat biji kopi yang di ambil dari sisa kotoran hewan luwak tersebut apabila ditanam, maka akan bisa tumbuh kembali, dan sebelum di konsumsi harus di sucikan dengan air terlebih dahulu.

Hal ini di terangkan dalam kitab-kitab para Ulama, diantaranya :

1. Hasyiah al-Bajuri : (juz : 1 Hal: 100).

…فان كان دودا أو متصلبا لم تحله المعدة كحب بحيث لو زرع لنبت فليس بنجس بل متنجس يطهر بالغسل كما سيذكره الشارح وان كان بعرا او نحوه فنجس (حاشية البا جور على ابن القاسم الغزي ا ص ..ا )

“Maka jika berupa ulat atau berupa benda padat (keras) yang tidak bisa dihancurkan oleh lambung seperti biji bijian, seandainya ditanam maka biji bijian tersebut akan tumbuh, maka tidak dikatakan sebagai benda najis, akan tetapi biji bijian tersebut dikatakan benda yang terkena najis dan bisa di sucikan dengan cara dicuci, dan apabila berupa kotoran atau sejenisnya maka dikatakan najis, seperti keterangan yang akan dijelaskan oleh asy syarih”.

2. Dalam kitab Majmu' Syarah al-Muhazzab karya Imam al-Nawawi (Juz : 2 Hal : 591). disebtukan :

قال أصحابنا رحمه الله إذا أكلت البهمية حبا وخرج من بطنها صحيحا فإن كانت صلابتها باقية بحيث لو زرع نبت فعينه طاهرة لكن يجب غسل ظاهره لملاقاة النجاسة لانه وان صار غذاء لها فما تغير الى الفساد فصار كما لو ابتلع نواة وخرجت فأن باطنها طاهر ويطهر قشرها بالغسل وإن كانت صلابتها قد زالت بحيث لو زرع لم ينبت فهو نجس ذكر هذا التفصيل هكذا القاضى حسين والمتولى والبغوى وغيرهم

“Sahabat kami r.a. berkata, ‘Ketika binatang menelan sebuah biji, lalu keluar dari perutnya dalam keadaan utuh, maka harus dilihat dari kerasnya biji itu. Kalau kerasnya biji itu tetap dalam arti ketika biji itu ditanam lantas tumbuh, maka hukum biji itu suci. Tetapi wajib dicuci permukaan biji itu karena bersentuhan dengan najis. Karena, meskipun biji itu merupakan makanan binatang itu, tetapi biji tersebut tidak  menjadi rusak. Ini sama halnya dengan biji yang ditelan binatang, lalu keluar dari duburnya, maka bagian dalam bijinya adalah suci dan suci kulit bijinya dengan dibasuh. Tetapi jika kekerasan biji itu hilang artinya ketika biji ditanam tidak tumbuh, maka hukum biji itu najis.’ Demikian disebutkan secara rinci. Begitulah dikatakan Qadhi Husein, al-Mutawalli, al-Baghawi, dan ulama lain.”

3. Dalam kitab Nihayatul Muhtaj karya Imam al-Ramli (Juz :1 Hal 240). disebutkan :.

نَعَمْ لَوْ رَجَعَ مِنْهُ حَبٌّ صَحِيحٌ صَلَابَتُهُ بَاقِيَةٌ بِحَيْثُ لَوْ زُرِعَ نَبَتَ كَانَ مُتَنَجِّسًا لَا نَجِسًا ، وَيُحْمَلُ كَلَامُ مَنْ أَطْلَقَ نَجَاسَتَهُ عَلَى مَا إذَا لَمْ يَبْقَ فِيهِ تِلْكَ الْقُوَّةِ .وَمَنْ أَطْلَقَ كَوْنَهُ مُتَنَجِّسًا عَلَى بَقَائِهَا فِيهِ كَمَا فِي نَظِيرِهِ مِنْ الرَّوْثِ ، وَقِيَاسُهُ فِي الْبَيْضِ لَوْ خَرَجَ مِنْهُ صَحِيحًا بَعْدَ ابْتِلَاعِهِ بِحَيْثُ تَكُونُ فِيهِ قُوَّةُ خُرُوجِ الْفَرْخِ أَنْ يَكُونَ مُتَنَجِّسًا لَا نَجِسًا .  

 “Namun demikian, jika biji tersebut kembali dalam kondisi semula sekira ditanam dapat tumbuh maka hukumnya adalah mutanajjis, bukan najis. Karena itu, dapat  difahami bahwa pendapat yang menyebutkan kenajisannya secara mutlaq kemungkinan jika tidak dalam kondisi kuat. Sementara itu, pendapat yang menyebut secara mutlaq sebagai mutanajjis kemungkinan dalam kondisi tetap, sebagaimana barang yang terkena kotoran lain. Yang serupa dengan biji-bijian adalah pada  telur, maka jika keluar dalam kondisi utuh setelah ditelan dengan sekira ada kekuatan untuk dapat menetas, maka hukumnya mutanajjis bukan najis.”

4. Dalam Fathul Mu`in karya Zainuddin al-Malibari (Juz :1 Hal : 99) disebutkan :

ولو راثت أو قاءت بهيمة حبا، فإن كان صلبا بحيث لو زرع نبت، فمتنجس يغسل ويؤكل، وإلا فنجس

“Seandainya seekor binatang mengeluarkan kotoran atau memuntahkan biji-bijian, jika biji itu tersebut masih keras sekira kalau ditanam masih tumbuh, maka hukumnya adalah mutanajjis yang dapat dibasuh dan kemudian dimakan, tetapi jika tidak keras lagi, maka najis.”

5. Dalam Nihayatuz Zain karya al-Nawawi al-Bantani (Juz :1 Hal : 40 )disebutkan :

نَعَمْ لَوْ رَجَعَ مِنْهُ حَبٌّ صَحِيحٌ صَلَابَتُهُ بَاقِيَةٌ بِحَيْثُ لَوْ زُرِعَ نَبَتَ كَانَ مُتَنَجِّسًا لَا نَجِسًا

“Namun demikian, jika biji tersebut kembali dalam kondisi semula sekira ditanam dapat tumbuh maka hukumnya adalah mutanajjis, bukan najis.

Senin, 23 November 2015

Ikhtilaf

Berbeda tidak Harus Bermusuhan

Imam as-Suyuthi (w. 911 H) menyebutkan dalam kitabnya, al-Asybah wa an-Nadza'ir:

لَا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيهِ وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ

Tidak diinkari adanya perkara yang diperselihkan, yang diinkari adalah adanya sesuatu yang disepakati.

Justru yang kita temukan adalah sebaliknya. Diantara para imam madzhab itu malah saling menghormati dan saling memuji satu sama lainnya.

Imam Syafi’i memuji Imam Abu Hanifah, beliau mengatakan,  

من أراد الفقه فهو عيال على أبي حنيفة 

”Siapa yang ingin tahu ilmu fiqih, maka ia bergantung kepada Abu Hanifah”.

Sebagaimana Imam Malik (w. 179 H) juga memuji Imam Abu Hanifah (w. 150 H).

Diriwayatkan dari Ahmad bin as-Shabbah bahwa Imam Syafi’i pernah bertanya kepada Imam Malik, apakah engkau pernah melihat Imam Abu Hanifah ? Imam Malik bin Anas radliyallahu anhu menjawab iya

, هذا الذي لو قال عن هذه السارية: إنها ذهب لاحتج لما قال.

“Inilah dia (Imam Abu Hanifah) yang jika beliau berkata tentang tiang ini, bahwa ini adalah emas, maka hal itupun bisa menjadi hujjah.

Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) memuji Imam as-Syafi’i (w. 204 H):

وقال محمد بن هارون الزنجاني: حدثنا عبد الله بن أحمد، قلت لأبي: أي رجل كان الشافعي، فإني سمعتك تكثر من الدعاء له؟ قال: يا بني، كان كالشمس للدنيا، وكالعافية للناس، فهل لهذين من خلف، أو منهما عوض

Muhammad bin Harun az-Zanjani berkata, Abdullah bin Ahmad berkata: Saya berkata kepada bapakku (Ahmad bin Hanbal), siapakah Syafi’i itu, sehingga engkau banyak mendo’akannya. Ahmad bin Hanbal berkata, wahai anakku! Dia itu seperti matahari bagi dunia, kesehatan bagi manusia. Apakah yang bisa menggantikan kedua hal itu?.