Sabtu, 05 Desember 2015

DALIL BACA AL QUR'AN DAN DZIKIR BERSAMA2 / YASINAN

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ"

Tidaklah suatu kaum berkumpul di satu rumah Allah (masjid), mereka membaca kitabullah (al qur'an) dan bertadarus, kecuali turun kepada mereka ketenangan, dan rahmat menyelimuti mereka, para malaikat mengelilingi mereka dan Allah memuji mereka di hadapan makhluk yang berada sisi-Nya. "( HR. Muslim ).

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

لاَ يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ حَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ".

Tidaklah duduk suatu kaum berdzikir kepada Allah, kecuali para malaikat mengelilinginya, rahmat menyelimutinya dan turun kepada mereka ketenangan, serta Allah memujinya di hadapan makhluk yang berada di sisi-Nya. "( HR. Muslim).

Jumat, 04 Desember 2015

Rebo wekasan

REBO WEKASAN DALAM KAJIAN

Setiap Rabu terakhir bulan Shafar, sebagian besar kaum Muslimin Nusantara melakukan shalat sunnah memohon kepada Allah SWT agardijauhkan dari berbagai malapetaka. Hal ini didasarkan pada keterangan yang terdapat dalam kitab Mujarrabat al-Dairabi al-Kabir yang berbunyi:

“Sebagian orang-orang yang ma’rifat kepada Allah menyebutkan, bahwa dalam setiap tahun akan turun tiga ratus dua puluh ribu malapetaka, semuanya terjadi pada Rabu terakhir bulan Shafar, sehingga hari tersebut menjadi hari tersulit dalam hari-hari tahun itu. Barangsiapa yang menunaikan shalat pada hari itu sebanyak 4 raka’at, dalam setiap raka’at membaca al-Fatihah 1 kali, Surat al-Kautsar 17 kali, surat al-Ikhlash 15 kali dan mu’awwidzatayn 1 kali, lalu berdoa dengan doa berikut ini, maka Allah akan menjaganya dari semua malapetaka yang turun pada hari tersebut.”

Hari Rabu yang disebutkan dalam keterangan di atas disebut dengan Rebo Wekasan. Persoalannya, sejauh manakah legitimasi agama, atau pengakuan agama Islam terhadap Rebo Wekasan seperti dalam keterangan Kitab Mujarrabat al-Dairabi al-Kabir di atas? Menjawab pertanyaan ini, ada beberapa hal yang perlu kita bahasa.

Pertama, pernyataan sebagian orang-orang yang ma’rifat tersebut, atau dalam kata lain sebagian waliyullah (kekasih Allah), dalam kacamata agama disebut dengan ilham. Para ulama ushul fiqih mendefinisikan ilham dengan, pikiran hati yang datang dari Allah. Berkaitan dengan hal ini, Syaikh Ibnu Taimiyah, ulama panutan utama kaum Wahabi berkata dalam al-‘Aqidah al-Wasithiyyah:

ومن أصول أهل السنة : التصديق بكرامات الأولياء وما يجري الله على أيديهم من خوارق العادات في أنواع العلوم والمكاشفات

“Di antara prinsip Ahlussunnah adalah mempercayai karamah para wali dan apa yang dijalankan oleh Allah melalui tangan-tangan mereka berupa perkara yang menyalahi adat dalam berbagai macam ilmu pengetahuan dan mukasyafah.”

Pernyataan Syaikh Ibnu Taimiyah di atas, mengharuskan kita mengakui adanya berbagai macam ilmu pengetahuan dan mukasyafah yang diberikan oleh Allah kepada para wali. Dengan demikian, dalam perspektif agama, ilham maupun mukasyafah sebagian wali Allah di atas tentang berbagai macam malapetaka yang diturunkan pada hari Rabu terakhir bulan Shafar, menemukan legitimasinya dalam akidah Islam.

Kedua, mayoritas ulama berpendapat bahwa ilham tidak dapat menjadi dasar hukum Islam (wajib, sunnah, makruh, mubah dan haram). Ilham yang dikemukakan dalam Mujarrabat al-Dairabi al-Kabirdi atas, tidak dalam rangka menghukumi sesuatu dalam perspektif Islam. Ilham di atas hanya informasi perkara ghaib tentang turunnya malapetaka pada hari Rabu terakhir di bulan Shafar. Dengan demikian, ilham tersebut tidak berkaitan dengan hukum, tetapi berkaitan dengan informasi perkara ghaib yang biasa terjadi kepada para wali Allah, seperti dikemukakan oleh Syaikh Ibnu Taimiyah di atas.

Ketiga, dalam ilmu tashawuf, ilham maupun mukasyafah seorang wali tidak boleh dipercaya dan diamalkan, sebelum dikomparasikan dengan dalil-dalil al-Qur’an dan Sunnah. Apabila ilham dan mukasyafah tersebut sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah, maka dipastikan benar. Akan tetapi apabila ilham dan mukasyafah tersebut bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah, maka itu jelas salah dan harus ditinggalkan jauh-jauh. Kaitannya dengan ilham atau mukasyafah Rebo Wekasan yang diterangkan dalam Mujarrabat al-Dairabi al-Kabir di atas, ada dasar yang menguatkannya. Rasulullah saw bersabda:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: آخِرُ أَرْبِعَاءَ فِي الشَّهْرِ يَوْمُ نَحْسٍ مُسْتَمِرٍّ. رواه وكيع في الغرر، وابن مردويه في التفسير، والخطيب البغدادي. (الإمام الحافظ جلال الدين السيوطي، الجامع الصغير في أحاديث البشير النذير، ١/٤، والحافظ أحمد بن الصديق الغماري، المداوي لعلل الجامع الصغير وشرحي المناوي، ١/۲٣).

 “Dari Ibn Abbas RA, Nabi SAW bersabda: “Rabu terakhir dalam sebulan adalah hari terjadinya sial terus.” HR. Waki’ dalam al-Ghurar, Ibn Mardawaih dalam al-Tafsir dan al-Khathib al-Baghdadi. (Al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir, juz 1, hal. 4, dan al-Hafizh Ahmad bin al-Shiddiq al-Ghumari, al-Mudawi li-‘Ilal al-Jami’ al-Shaghir wa Syarhai al-Munawi, juz 1, hal. 23).

Hadits di atas kedudukannya dha’if (lemah). Tetapi meskipun hadits tersebut lemah, posisinya tidak dalam menjelaskan suatu hukum, tetapi berkaitan dengan bab targhib dan tarhib (anjuran dan peringatan), yang disepakati otoritasnya di kalangan ahli hadits sejak generasi salaf. Ingat, bahwa yang menolak otoritas hadits dha’if secara mutlak, bukan ulama ahli hadits, akan tetapi kaum Wahabi abad modern yang dipelopori oleh Syaikh al-Albani.

Dalam hadits tersebut dinyatakan bahwa hari Rabu terakhir dalam setiap bulan adalah hari datangnya sial terus.

Keempat, berkaitan dengan bulan Shafar, Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya sebagai berikut ini:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم: قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا صَفَرَ وَلَا هَامَةَ. رواه البخاري ومسلم.

“Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada penyakit menular. Tidak ada kepercayaan datangnya sial dari bulan Shafar. Tidak ada kepercayaan bahwa orang mati, rohnya menjadi burung yang terbang.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Dalam menafsirkan kalimat “walaa shafar” dalam hadits di atas, al-Imam al-Hafizh al-Hujjah Ibn Rajab al-Hanbali, ulama salafi dan murid terbaik Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, berkata sebagai berikut:

أَنَّ الْمُرَادَ أَنَّ أَهْلَ الْجَاهِلِيَّةِ كَانُوْا يَسْتَشْئِمُوْنَ بِصَفَر وَيَقُوْلُوْنَ: إِنَّهُ شَهْرٌ مَشْئُوْمٌ، فَأَبْطَلَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ذَلِكَ، وَهَذَا حَكَاهُ أَبُوْ دَاوُودَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ رَاشِدٍ الْمَكْحُوْلِيِّ عَمَّنْ سَمِعَهُ يَقُوْلُ ذَلِكَ، وَلَعَلَّ هَذَا الْقَوْلَ أَشْبَهُ اْلأَقْوَالِ، وَ كَثِيْرٌ مِنَ الْجُهَّالِ يَتَشَاءَمُ بِصَفَر، وَ رُبَّمَا يَنْهَى عَنِ السَّفَرِ فِيْهِ، وَ التَّشَاؤُمُ بِصَفَر هُوَ مِنْ جِنْسِ الطِّيَرَةِ الْمَنْهِيِّ عَنْهَا. (الإمام الحافظ الحجة زين الدين ابن رجب الحنبلي، لطائف المعارف، ص/١٤٨).

“Maksud hadits di atas, orang-orang Jahiliyah meyakini datangnya sial dengan bulan Shafar. Mereka berkata, Shafar adalah bulan sial. Maka Nabi SAW membatalkan hal tersebut. Pendapat ini diceritakan oleh Abu Dawud dari Muhammad bin Rasyid al-Makhuli dari orang yang mendengarnya berpendapat demikian. Barangkali pendapat ini yang paling benar. Banyak orang awam yang meyakini datangnya sial pada bulan Shafar, dan terkadang melarang bepergian pada bulan itu. Meyakini datangnya sial dengan bulan Shafar termasuk jenis thiyarah (meyakini adanya pertanda buruk) yang dilarang.” (Al-Imam al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, Lathaif al-Ma’arif, hal. 148).

Kelima, dalam hadits sebelumnya dinyatakan bahwa, Rabu terakhir setiap bulan adalah hari datangnya sial. Sementara dalam hadits berikutnya, membatalkan tradisi Jahiliyah yang merasa memperoleh ketidakberuntungan pada bulan Shafar. Dari sini, Rabu terakhir di bulan Shafar disebut dengan Rebo Wekasan. Hal ini agaknya melegitimasi ilham atau mukasyafah sebagian wali Allah di atas tentang turunnya berbagai malapetaka di bulan Shafar.

Keenam, terkait dengan amaliah shalat 4 rakaat di atas bagaimana posisi hukumnya? Secara fiqih, shalat tersebut tidak mungkin dikatakan sebagai Shalat Sunnat Rebo Wekasan, karena dalilnya tidak ada. Tetapi melakukan shalat tersebut, tentunya boleh-boleh saja, dengan harapan terhindari dari berbagai malapetaka. Dalam konteks ini al-Imam al-Hafizh al-Hujjah Zainuddin Ibn Rajab al-Hanbali, ulama salafi dan murid terbaik Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, berkata dalam kitabnya, Lathaif al-Ma’arif:

وَالْبَحْثُ عَنْ أَسْبَابِ الشَّرِّ مِنَ النَّظَرِ فِي النُّجُوْمِ وَنَحْوِهَا مِنَ الطِّيَرَةِ الْمَنْهِيِّ عَنْهَا، وَالْبَاحِثُوْنَ عَنْ ذَلِكَ غَالِبًا لَا يَشْتَغِلُوْنَ بِمَا يَدْفَعُ الْبَلَاءَ مِنَ الطَّاعَاتِ، بَلْ يَأْمُرُوْنَ بِلُزُوْمِ الْمَنْزِلِ وَتَرْكِ الْحَرَكَةِ، وَهَذَا لاَ يَمْنَعُ نُفُوْذَ الْقَضَاءِ وَالْقَدَرِ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَشْتَغِلُ بِالْمَعَاصِيْ، وَهَذَا مِمَّا يُقَوِّيْ وُقُوْعَ الْبَلاَءِ وَنُفُوْذَهُ، وَالَّذِيْ جَاءَتْ بِهِ الشَّرِيْعَةُ هُوَ تَرْكُ الْبَحْثِ عَنْ ذَلِكَ وَاْلإِعْرَاضُ عَنْهُ وَاْلإِشْتِغَالُ بِمَا يَدْفَعُ الْبَلاَءَ مِنَ الدُّعَاءِ وَالذِّكْرِ وَالصَّدَقَةِ وَتَحْقِيْقِ التَّوَكُّلِ عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَاْلإِيْمَانِ بِقَضَائِهِ وَقَدَرِهِ. (الإمام الحافظ الحجة زين الدين ابن رجب الحنبلي، لطائف المعارف، ص/١٤٣).

“Meneliti sebab-sebab keburukan seperti melihat perbintangan dan semacamnya termasuk thiyarah yang dilarang. Orang-orang yang meneliti hal tersebut biasanya tidak menyibukkan diri dengan amal-amal baik yang dapat menolak balak, bahkan mereka memerintahkan agar tidak meninggalkan rumah dan tidak bekerja. Ini jelas tidak mencegah terjadinya keputusan dan ketentuan Allah. Di antara mereka ada yang menyibukkan dirinya dengan perbuatan maksiat. Hal ini jelas memperkuat terjadinya malapetaka. Ajaran yang dibawa oleh syari’at adalah tidak meneliti hal tersebut, berpaling darinya, dan menyibukkan diri dengan amal-amal yang dapat menolak balak seperti berdoa, berdzikir, bersedekah, memantapkan tawakal kepada Allah SWT dan beriman kepada keputusan dan ketentuan Allah SWT.” (Ibn Rajab, Lathaif al-Ma’arif, hal. 143). 

Keterangannya pada hari rabu ini Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menjaga kita dari 320.000 balai sampai setahun kemudian, mungkin menurut sebagian mufasir ada yang mengatakan Bid’ah atau apalah, tapi menurut sebagian mufasir lain mengatakan bahwa sholat hajat Rabu Wekasan bisa dilakukan selagi masih dalam koridor keislaman dan jauh dari perbuatan musyrik, Sholat tolak bala' atau sering disebut salat hajat ini di kerjakan 4 rakaat, tata cara solat:

1. Rakaat pertama setelah membaca Al Fatihah dilanjutkan lagi dengan membaca Qs al-kautsar sebanyak 13 kali

2. Rakaat ke dua setelah membaca Al fatihah dilanjutkan lagi dengan membaca Qs al-Ikhlas 13 x

3. Rakaat ke tiga setelah membaca Al fatihah dilanjutkan dengan membaca Qs al-Falaq 1x

4. Rakaat ke empatnya setelah membaca Al-Fatihah dilanjutkan lagi dengan membaca Qs an-nas 1 x

Setelah salam maka di lanjutkan dengan Doa ini,

سَلاَمٌ قَوْلاً مِنْ رَبِّ رَّحِيْمِ . سَلاَمٌ عَلىَ نُوْحٍ فِيْ الْعاَلَمِيْنَ . إِناَّ كَذَالِكَ نَجْزِى اْلمَحْسِنِيْنَ . سَلاَمٌ عَلىَ إِبْرَاهِيْمَ . إِناَّ كَذَالِكَ نَجْزِى اْلمُحْسِنِيْنَ . سَلاَمٌ عَلىَ مُوْسى وَهرُوْنَ . إِناَّ كَذَالِكَ نَجْزِى اْلمُحْسِنِيْنَ . سَلاَمٌ عَلىَ إِلْياَسِيْنَ . إِناَّ كَذَالِكَ نَجْزِى اْلمُحْسِنِيْنَ. سَلاَمٌ طِبْتُمْ فاَدْخُلُوْهاَ خَالِدِيْنَ . سَلاَمٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبىَ الدَّارِ . سَلاَمٌ هِيَ حَتىَّ مَطْلَعِ اْلفَجْرِ. اللّهُمَّ يَاشَدِيْدَ اْلقُوَّةِ وَيَا شَدِيْدَ اْلمِحَالِ يَا عَزِيْزُ يَا مَنْ ذَلَّتْ لِعِزَّتِكَ جَمِيْعُ خَلْقِكَ إِكْفِنِي مِنْ جَمِيْعِ شَرِّ خَلْقِكَ يِا مُحْسِنُ يَا مُجَمِّلُ يَا مُتَفَضِّلُ يَا مُنْتَقِمُ يَا مُتَكَرِّمُ يَا مَنْ لاَ اِلهَ إِلاَّ أَنْتَ إِرْحَمْنِيْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ . اَللّهُمَّ بِسِرِّ اْلحَسَنِ وَأَخِيْهِ وَجَدِّهِ وَأَبِيْهِ وَأُمِّهِ وَبَنِيْهِ إِكْفِنِيْ شَرَّ هَذَا اْليَوْمِ وَماَ يُنَزَّلُ فِيْهِ يَا كَافِيَ اْلمُهِمَّاتِ يَا دَافِعَ اِلبَلاَياَتِ فَسَيَكْفِيْكَهُمُ الله وَهُوَالسَّمِيْعُ اْلعَلِيْمُ . حَسْبُناَ الله ُوَنِعْمَ اْلوَكِيْلِ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِالله ِاْلعَلِيِّ اْلعَظِيْمِ .

Maka Allah Subhanahu wa Ta’al akan menjaga orang tersebut dari seluruh balak tadi sampai akhir tahun. Ditambahkan oleh Syeikh Zainuddin murid dari Syeikh Ibnu Hajar Al Maliki dalam kitab Irsyadul Ibad yang mengatakan bahwa hal itu juga termasuk Bid’ah madzmumah (tercela). Maka bagi orang yang ingin melaksanakan sholat tersebut sesuai dengan tuntunan syeikh Al-Kamil Farid Ad-Din dalam kitab Jawahir Al-Khamis hendaknya berniat melaksanakan sholat sunnah mutlak dimana sholat mutlak adalah sholat yang tidak dibatasi oleh waktu, sebab dan bilangannya.

Sumber : http://hakamabbas.blogspot.co.id/2013/12/rebo-wekasan-dalam-kajian.html?m=1

Jumat, 27 November 2015

Hukum Kopi Luwak

Hukum mengkonsumsi kopi luwak adalah BOLEH (halal).

Dengan syarat biji kopi yang di ambil dari sisa kotoran hewan luwak tersebut apabila ditanam, maka akan bisa tumbuh kembali, dan sebelum di konsumsi harus di sucikan dengan air terlebih dahulu.

Hal ini di terangkan dalam kitab-kitab para Ulama, diantaranya :

1. Hasyiah al-Bajuri : (juz : 1 Hal: 100).

…فان كان دودا أو متصلبا لم تحله المعدة كحب بحيث لو زرع لنبت فليس بنجس بل متنجس يطهر بالغسل كما سيذكره الشارح وان كان بعرا او نحوه فنجس (حاشية البا جور على ابن القاسم الغزي ا ص ..ا )

“Maka jika berupa ulat atau berupa benda padat (keras) yang tidak bisa dihancurkan oleh lambung seperti biji bijian, seandainya ditanam maka biji bijian tersebut akan tumbuh, maka tidak dikatakan sebagai benda najis, akan tetapi biji bijian tersebut dikatakan benda yang terkena najis dan bisa di sucikan dengan cara dicuci, dan apabila berupa kotoran atau sejenisnya maka dikatakan najis, seperti keterangan yang akan dijelaskan oleh asy syarih”.

2. Dalam kitab Majmu' Syarah al-Muhazzab karya Imam al-Nawawi (Juz : 2 Hal : 591). disebtukan :

قال أصحابنا رحمه الله إذا أكلت البهمية حبا وخرج من بطنها صحيحا فإن كانت صلابتها باقية بحيث لو زرع نبت فعينه طاهرة لكن يجب غسل ظاهره لملاقاة النجاسة لانه وان صار غذاء لها فما تغير الى الفساد فصار كما لو ابتلع نواة وخرجت فأن باطنها طاهر ويطهر قشرها بالغسل وإن كانت صلابتها قد زالت بحيث لو زرع لم ينبت فهو نجس ذكر هذا التفصيل هكذا القاضى حسين والمتولى والبغوى وغيرهم

“Sahabat kami r.a. berkata, ‘Ketika binatang menelan sebuah biji, lalu keluar dari perutnya dalam keadaan utuh, maka harus dilihat dari kerasnya biji itu. Kalau kerasnya biji itu tetap dalam arti ketika biji itu ditanam lantas tumbuh, maka hukum biji itu suci. Tetapi wajib dicuci permukaan biji itu karena bersentuhan dengan najis. Karena, meskipun biji itu merupakan makanan binatang itu, tetapi biji tersebut tidak  menjadi rusak. Ini sama halnya dengan biji yang ditelan binatang, lalu keluar dari duburnya, maka bagian dalam bijinya adalah suci dan suci kulit bijinya dengan dibasuh. Tetapi jika kekerasan biji itu hilang artinya ketika biji ditanam tidak tumbuh, maka hukum biji itu najis.’ Demikian disebutkan secara rinci. Begitulah dikatakan Qadhi Husein, al-Mutawalli, al-Baghawi, dan ulama lain.”

3. Dalam kitab Nihayatul Muhtaj karya Imam al-Ramli (Juz :1 Hal 240). disebutkan :.

نَعَمْ لَوْ رَجَعَ مِنْهُ حَبٌّ صَحِيحٌ صَلَابَتُهُ بَاقِيَةٌ بِحَيْثُ لَوْ زُرِعَ نَبَتَ كَانَ مُتَنَجِّسًا لَا نَجِسًا ، وَيُحْمَلُ كَلَامُ مَنْ أَطْلَقَ نَجَاسَتَهُ عَلَى مَا إذَا لَمْ يَبْقَ فِيهِ تِلْكَ الْقُوَّةِ .وَمَنْ أَطْلَقَ كَوْنَهُ مُتَنَجِّسًا عَلَى بَقَائِهَا فِيهِ كَمَا فِي نَظِيرِهِ مِنْ الرَّوْثِ ، وَقِيَاسُهُ فِي الْبَيْضِ لَوْ خَرَجَ مِنْهُ صَحِيحًا بَعْدَ ابْتِلَاعِهِ بِحَيْثُ تَكُونُ فِيهِ قُوَّةُ خُرُوجِ الْفَرْخِ أَنْ يَكُونَ مُتَنَجِّسًا لَا نَجِسًا .  

 “Namun demikian, jika biji tersebut kembali dalam kondisi semula sekira ditanam dapat tumbuh maka hukumnya adalah mutanajjis, bukan najis. Karena itu, dapat  difahami bahwa pendapat yang menyebutkan kenajisannya secara mutlaq kemungkinan jika tidak dalam kondisi kuat. Sementara itu, pendapat yang menyebut secara mutlaq sebagai mutanajjis kemungkinan dalam kondisi tetap, sebagaimana barang yang terkena kotoran lain. Yang serupa dengan biji-bijian adalah pada  telur, maka jika keluar dalam kondisi utuh setelah ditelan dengan sekira ada kekuatan untuk dapat menetas, maka hukumnya mutanajjis bukan najis.”

4. Dalam Fathul Mu`in karya Zainuddin al-Malibari (Juz :1 Hal : 99) disebutkan :

ولو راثت أو قاءت بهيمة حبا، فإن كان صلبا بحيث لو زرع نبت، فمتنجس يغسل ويؤكل، وإلا فنجس

“Seandainya seekor binatang mengeluarkan kotoran atau memuntahkan biji-bijian, jika biji itu tersebut masih keras sekira kalau ditanam masih tumbuh, maka hukumnya adalah mutanajjis yang dapat dibasuh dan kemudian dimakan, tetapi jika tidak keras lagi, maka najis.”

5. Dalam Nihayatuz Zain karya al-Nawawi al-Bantani (Juz :1 Hal : 40 )disebutkan :

نَعَمْ لَوْ رَجَعَ مِنْهُ حَبٌّ صَحِيحٌ صَلَابَتُهُ بَاقِيَةٌ بِحَيْثُ لَوْ زُرِعَ نَبَتَ كَانَ مُتَنَجِّسًا لَا نَجِسًا

“Namun demikian, jika biji tersebut kembali dalam kondisi semula sekira ditanam dapat tumbuh maka hukumnya adalah mutanajjis, bukan najis.

Senin, 23 November 2015

Ikhtilaf

Berbeda tidak Harus Bermusuhan

Imam as-Suyuthi (w. 911 H) menyebutkan dalam kitabnya, al-Asybah wa an-Nadza'ir:

لَا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيهِ وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ

Tidak diinkari adanya perkara yang diperselihkan, yang diinkari adalah adanya sesuatu yang disepakati.

Justru yang kita temukan adalah sebaliknya. Diantara para imam madzhab itu malah saling menghormati dan saling memuji satu sama lainnya.

Imam Syafi’i memuji Imam Abu Hanifah, beliau mengatakan,  

من أراد الفقه فهو عيال على أبي حنيفة 

”Siapa yang ingin tahu ilmu fiqih, maka ia bergantung kepada Abu Hanifah”.

Sebagaimana Imam Malik (w. 179 H) juga memuji Imam Abu Hanifah (w. 150 H).

Diriwayatkan dari Ahmad bin as-Shabbah bahwa Imam Syafi’i pernah bertanya kepada Imam Malik, apakah engkau pernah melihat Imam Abu Hanifah ? Imam Malik bin Anas radliyallahu anhu menjawab iya

, هذا الذي لو قال عن هذه السارية: إنها ذهب لاحتج لما قال.

“Inilah dia (Imam Abu Hanifah) yang jika beliau berkata tentang tiang ini, bahwa ini adalah emas, maka hal itupun bisa menjadi hujjah.

Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) memuji Imam as-Syafi’i (w. 204 H):

وقال محمد بن هارون الزنجاني: حدثنا عبد الله بن أحمد، قلت لأبي: أي رجل كان الشافعي، فإني سمعتك تكثر من الدعاء له؟ قال: يا بني، كان كالشمس للدنيا، وكالعافية للناس، فهل لهذين من خلف، أو منهما عوض

Muhammad bin Harun az-Zanjani berkata, Abdullah bin Ahmad berkata: Saya berkata kepada bapakku (Ahmad bin Hanbal), siapakah Syafi’i itu, sehingga engkau banyak mendo’akannya. Ahmad bin Hanbal berkata, wahai anakku! Dia itu seperti matahari bagi dunia, kesehatan bagi manusia. Apakah yang bisa menggantikan kedua hal itu?.

Jumat, 10 Juli 2015

Ketaqwaan

ﻳﺎﺍﻳﻬﺎ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺍﻋﺒﺪﻭﺍ ﺭﺑﻜﻢ ﺍﻟﺬﻱ ﺧﻠﻘﻜﻢ ﻭﺍﻟﺬﻳﻦ ﻣﻦ ﻗﺒﻠﻜﻢ ﻟﻌﻠﻜﻢ ﺗﺘﻘﻮﻥ

Terjemah bebas : Hai sekalian Manusia Hambakanlah dirimu pada Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang" sebelum kamu, supaya kamu bisa menjaga diri.

Pelajaran yang bisa kita ambil dari ayat di atas adl :

Arti taqwa itu adalah menjaga diri, Di dalam Alqur'an setidak"nya ada tiga interelsi yang berkaitan dg taqwa :

1. ﺍﺗﻘﻮﺍ ﺍﻟﻠﻪ
Bertaqwa kepada Alloh
2. ﺍﺗﻘﻮﺍ ﺍﻟﻨﺎﺭ
Bertaqwa kepada neraka
3. اتقوا فتنة
Bertaqwa kepada instabilitas

Artinya apa bertaqwa kpda Alloh dalam arti kita menjaga rasa, ucapan dan prilaku sehinga tdak mengundang kemurkaan Alloh.

ﺍﺗﻘﻮﺍ ﺍﻟﻨﺎﺭ dalam arti kita menjaga ucap, prilaku, dan rasa sehinga tidak dirindukan oleh api Neraka.

اتقوا فتنة
artinya mejaga hati, ucpan, dan perbuatan sehinga perbuatan kita tidak menimbulkan instabilitas.

Lalu Bagaimana caranya Supaya seorang hamba manusia ini menjadi orang yang bertaqwa yang menjamin tidak di murkai Alloh, tidak dirindukan neraka, dan menciptakan stabilitas. Maka caranya
ﺍﻋﺒﺪﻭﺍ ﺭﺑﻜﻢ
posisikan/tempatkan dirimu sbgai  Abdi dalemya Alloh, apa itu Abdun ? abdun dalam Alqur'an :
ﻋﺒﺪﺍ ﻣﻤﻠﻮﻛﺎ ﻟﺎ ﻳﻘدر ﻋﻠﻰ شيء

Seorang hamba abdi yang menjadi milik orang, yang tidak berkuasa melakukan dengan bebasnya sesuatupun,
Artinya seorang hamba yang benar akan melaksanakan perintahNya walau berat dan pahit rasanya, Akan meningalkan laranganya walau itu kesenanganya, menerima pemberianya walau tidak sesuai harapanya, dia lebih memilih dkat dengan Alloh walau jauh dg lingkunganya.

Mudah"an dg melewati ramadhan ini snantiasa kita menjadi Hamba" Allah supaya mencapai drajat yang paling tinggi yakni Mttaqin... Aamiin.

Minggu, 07 Juni 2015

Umur Rosul SAW. Ketika Diangkat Jadi Nabi dan Rosul

Albidayah Wa annihayah juz :3 Hal : 4

(ذكر عمره عليه الصلاة والسلام وقت بعثته وَتَارِيخِهَا)

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي عَدِيٍّ عَنْ دَاوُدَ بْنِ أَبِي هِنْدَ عَنْ عَامِرٍ الشَّعْبِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّىاللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَزَلَتْ عَلَيْهِ النُّبُوَّةُ وَهُوَ ابْنُ أَرْبَعِينَسَنَةً، فَقُرِنَ بِنُبُوَّتِهِ إِسْرَافِيلُ ثَلَاثَ سِنِينَ، فَكَانَ يُعَلِّمُهُ الْكَلِمَةَ وَالشَّيْءَ، وَلَمْ يَنْزِلِ الْقُرْآنُ، فَلَمَّا مَضَتْ ثَلَاثُ سِنِينَ قُرِنَ بِنُبُوَّتِهِ جِبْرِيلُ فَنَزَلَ الْقُرْآنُ عَلَى لِسَانِهِ عِشْرِينَ سَنَةً عَشْرًا بِمَكَّةَ وَعَشْرًا بِالْمَدِينَةِ. فَمَاتَ وَهُوَابْنُ ثَلَاثٍ وَسِتِّينَ سَنَةً. فَهَذَا إِسْنَادٌ صَحِيحٌ إِلَى الشَّعْبِيِّ وَهُوَ يَقْتَضِي أَنَّ إِسْرَافِيلَ قُرِنَ مَعَهُ بَعْدَ الْأَرْبَعِينَ ثَلَاثَ سِنِينَ ثُمَّ جَاءَهُ جِبْرِيلُ.

Al-Kamil fi Auarih juz :4 Hal : 646

[ذِكْرُ الْوَقْتِ الَّذِي أُرْسِلَ فِيهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ]

بَعَثَ اللَّهُ نَبِيَّهُ مُحَمَّدًا - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - لِعِشْرِينَ سَنَةً مَضَتْ مِنْ مُلْكِ كِسْرَى أَبْرَوِيزَ بْنِ هُرْمُزَ بْنِ أَنُوشِرْوَانَ، وَكَانَ عَلَى الْحِيرَةِ إِيَاسُ بْنُ قَبِيصَةَ الطَّائِيُّ عَامِلًا لِلْفُرْسِ عَلَى الْعَرَبِ.قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ مِنْ رَاوِيَةِ حَمْزَةَ وَعِكْرِمَةَ عَنْهُ وَأَنَسُ بْنُ مَالِكٍ وَعُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ: «إِنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - بُعِثَ وَأُنْزِلَ عَلَيْهِ الْوَحْيُ وَهُوَ ابْنُ أَرْبَعِينَ سَنَةً» .وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ مِنْ رَاوِيَةِ عِكْرِمَةَ أَيْضًا عَنْهُ وَسَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ: إِنَّهُ «أُنْزِلَ عَلَيْهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - وَهُوَ ابْنُ ثَلَاثٍ وَأَرْبَعِينَ سَنَةً»

Tarikhu Atthobari juz : 2 Hal : 290

واختلف السلف في سن رسول الله ص حين نبى كم كانت؟

فقال بعضهم: نبئ رسول الله ص بعد ما بنت قريش الكعبة بخمس سنين، وبعد ما تمت له من مولده أربعون سنة.ذِكْرُ مَنْ قَالَ ذَلِكَ:حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ خَلَفٍ الْعَسْقَلانِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا آدَمُ، قَالَ: حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو جَمْرَةَ الضُّبَعِيُّ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: بُعِثَ رَسُولُ اللَّهِ ص لأربعين سنه.

حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ وَابْنُ الْمُثَنَّى، قَالا: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ: سَمِعْتُ رَبِيعَةَ بْنَ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ يَذْكُرُ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ص بُعِثَ عَلَى رَأْسِ أَرْبَعِين.َ

Senin, 01 Juni 2015

KHUTBAH DI BULAN SYA'BAN


Mendaki Ridha Allah di Bulan Sya'ban

Hadirin Kaum Muslimin yang Dirahmati AllahSyukur Alhamdulillah kita panjatkan ke hadirat Allah yang Maha Kuasa, karena hari ini kita semua masih menikmati indahnya bulan sya'ban.

Sya'ban adalah bulan kedelapan dalam penanggalan Hijriyah.Secara bahasa kata "Sya'ban" mempunyai arti "berkelompok". Nama ini disesuaikan dengan tradisi bangsa Arab yang berkelompok mencari nafkah pada bulan itu).

Sya'ban termasuk bulan yang dimuliakan oleh Rasulullah Saw. selain bulan yang empat, yaitu Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Salah satu pemuliaan Rasulullah Saw. terhadap bulan Syaban ini adalah beliau banyak berpuasa pada bulan ini.

اَلْحَمْدُ لله على نعمه فى شهر شعبان, الذى جعلنا من المسلمين الكاملين, وأمرنا باتباع سبيل المؤمنين, وأشْهَدُ أَنْ لَا إله إِلَّا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ الحق المبين وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الصادق الوعد الأمين, اللهم صَلَّى عَلَى سيدنا محمد وَعَلَى أله وَصَحْبِهِ أجمعين, وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا.أما بعد

- أوصيكم ونفسى بتقوى الله, وكونوا من المؤمنين الصادقين, واعلموا رحمكم الله إن للإيمان أيات وشعبن, فدونكم منها مانطق به القرأن, ومابينه رسول الله صلى الله عليه وسلم "المؤمن حقا إذا ذكرالله وجلت قلبه وخشعت نفسه, وفاضت عينه, من إذا سمع القرأن ثلج صدره وزاد إيمانه, وعلا يقينه, من يعتمد على ربه في نوال غايته, بعد أن بذل جهده فى سبيل حاجته, المؤمن حقا من أمن بكل ماجاء به القرأن, إيمانا لايزلزله شك وارتياب, وجاهد بنفسه وماله فى نصرة الدين وإقامة الحق المبين, المؤمن حقا لاسلطان للشيطان على نفسه, وأنه إيمان المرء يزيد بالطاعات وينقص بالمعصية.

Faya Ma'asyiral Muslimin RahimakumullahMarilah kita bersama-sama menjaga kwalitas taqwa kita kepada Allah swt. dengan menjalankan perintah-perintahnya dan menjauhi larangan-larangannya dengan penuh kesadaran dan keinsyafan.Karena hanya dengan taqwalah jalan kita mendekati Allah swt. mencapai kebahagiaan baik di dunia maupun diakhirat,

seperti yang difirmankan Allah dalam yunus 63-64

الذين أمنوا وكانوا يتقون *لهم البشرى في الحياة الدنيا وفي الآخرة لا تبديل لكلمات الله ذلك هو الفوز العظيم

(Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa * Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan} di akhirat. Tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.

Hadirin Kaum Muslimin yang Dirahmati AllahSyukur Alhamdulillah kita panjatkan ke hadirat Allah yang Maha Kuasa, karena hari ini kita semua masih menikmati indahnya bulan sya'ban. Sya'ban adalah bulan kedelapan dalam penanggalan Hijriyah. Secara bahasa kata "Sya'ban" mempunyai arti "berkelompok". Nama ini disesuaikan dengan tradisi bangsa Arab yang berkelompok mencari nafkah pada bulan itu). Sya'ban termasuk bulan yang dimuliakan oleh Rasulullah Saw. selain bulan yang empat, yaitu Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Salah satu pemuliaan Rasulullah Saw. terhadap bulan Syaban ini adalah beliau banyak berpuasa pada bulan ini.Hadits yang diriwayatkan oleh Imam an-Nasa'i dan Abu Dawud dan disahihkan oleh Ibnu Huzaimah menyatakan, Usamah berkata pada Rasululllah Saw., 'Wahai Rasulullah, saya tak melihat Rasul melakukan puasa (sunat) sebanyak yang Rasul lakukan dalam bulan Sya'ban.' Rasul menjawab: 'Bulan Sya'ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadan yang dilupakan oleh kebanyakan orang.'

"قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ذاك شهر يغفل الناس عنه يعنى رجب رمضان وهو شهرترفع الأعمال فيه إلى رب العالمين فأحب أن يرفع عملى وأنا صائم"

Bulan itu (Sya'ban) berada di antara Rajab dan Ramadhan adalah bulan yang dilupakan manusia dan ia adalah bulan yang diangkat padanya amal ibadah kepada Tuhan Seru Sekalian Alam, maka aku suka supaya amal ibadah ku di angkat ketika aku berpuasa". ( HR. an-Nasa'i)

Hadirin Kaum Muslimin yang BudimanOleh karena itu, marilah di awal bulan Sya'ban ini kita perkokoh keimanan dan ketaqwaan kita. Mumpung masih ada waktu, mumpung ada bulan Sya'ban yang penuh dengan keutamaan dan keistimewaan. Mungkin itulah mengapa bulan ini dikatakan 'sya'aban', karena sya'ban yang berasal dari kata syi'ab bisa dimaknai sebagai jalan setapak menuju puncak. Artinya bulan sya'ban adalah bulan persiapan yang disediakan oleh Allah swt kepada hambanya untuk menapaki dan menjelajahi keimanannya sebagai persiapan menghadapi puncak 'bulan Ramadhan'.Meniti perjalanan menuju puncak bukanlah hal yang mudah. Minimal memerlukan persiapan-persiapan yang terkadang sangat melelahkan dan menguras energy. Ingatlah pekerjaan mendaki gunung yang mengharuskan berbagai macam pelatihan. Begitu pula meniti puncak di bulan Sya'ban tentunya pendakian itu mengharuskan kesungguhan hati dan niat yang suci karena mendaki adalah usaha menuju yang lebih tinggi yang harus dilalui dengan sedikit susah dan payah. Kepayahan itu akan terasa ketika kita memilih berpuasa di bulan Sya'ban sebagai bentuk pendakian menuju puncak.Rasulullah saw bersabda bahwa bulan ini dinamakan Sya'ban karena berhamburan kebajikan di dalamnya. Barang siapa berpuasa tiga hari di awal bulan Sya'ban, tiga hari di pertengahannya dan tiga hari di akhirnya. Maka niscaya Allah tulis untuk orang itu pahala tujuh puluh orang nabi, dan seperti ibadah tujuh puluh tahun, dan jiakalau orang itu meninggal pada tahun ini akan diberikan preikat mati syahid.

Ma'asyiral Mu'minin Rahimakumullah

Pendakian menuju puncak di bulan Sya'ban ini juga dapat dilakukan dengan cara banyak beristigfar dan meminta ampun atas segala dosa yang telah kita lakukan di bulan-bulan sebelumnya. Baik dosa yang kita lakukan dalam bentuk tindakan dan kelakukan yang kasat mata maupun dosa yang adanya di dalam hati dan tidak kasat mata, dan justru dosa terakhir inilah yang terkadang lebih menumpuk di bandingkan dosa kelakukan. Ujub, sum'ah, takabbur dan lain sebagainya;

Coba kita dalami an-Nahl ayat 78:

وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالأَبْصَارَ وَالأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُون

َDan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur

Bukankah ayat tersebut seolah mewajibkan manusia agar selalu insyaf dan sadar bahwasannya berbagai kedudukan kita di dunia ini, jabatan, kekuatan, kekayaan, kegagahan, kepandaian dan semuanya adalah pemberian Allah swt, dan manusia pada awalnya tidak mengerti sesuatu apa.Karenanya, jikalau sampai terbersit dalam hati kita sebagai manusia akan kepamilikan dan ke-Aku-an sadarlah bahwa itu adalah kesombongan dan ketakabburan yang sangat berdosa. Apalagi jikalau perasaan itu disertai dengan kesengajaan menafikan Allah swt. maka segralah bertaubat. Allah sendiri mengancam orang-orang seperti ini dalam surat Thaha ayat 124:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى

Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta."

Dengan demikian, Ma'asyiral Muslimin

Wajiblah setiap manusia itu selalu bersujud dan berbakti kepada Allah swt. setiap saat, setiap waktu, semakin berpangkat, semakin pandai, semakin kaya, semakin berada, maka sujudnya harus semakin dalam dan penuh makna.Sebagai penghujung khutbah ini, marilah di waktu yang istimewa ini di bulan Sy'aban yang penuh fadhilah ini, kita mendaki bersama dengan menjalankan berbagai amal shaleh dan meminta pengampunan dan magfirah-Nya, sehingga kita akan sampai dipuncak nanti sebagi insan yang siap menjalankan keinsaniyahannya di depan Sang Khaliq

اللهم ربنا اصرف عنا عذاب جهنم إن عذابها كان غراما, إنها سائت مستقرومقاما, ربنا هب لنا من أزواجنا وذرياتنا قرة أعين واجعلنا للمتقين إماما, بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإيَّاكُمْ ِبمَا ِفيْهِ مِنَ اْلآياَتِ وَالذكْر ِالْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ اْلعَلِيْمُ

Khutbah II

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ اِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَاَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى اِلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًااَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا اَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا اَنَّ اللهّ اَمَرَكُمْ بِاَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى اِنَّ اللهَ وَمَلآ ئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اَبِى بَكْرٍوَعُمَروَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَاَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ اَعِزَّ اْلاِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ اَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ اِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! اِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِى اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوااللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ اَكْبَرْ

Minggu, 31 Mei 2015

Taqlid

(I'aanatutoolibiin juz 1/hal 25)
(تنبيه)

كل من الأئمة الأربعة على الصواب ويجب تقليد واحد منهم، ومن قلد واحدا منهم خرج عن عهدة التكليف، وعلى المقلد اعتقاد أرجحية مذهبه أو مساواته، ولا يجوز تقليد غيرهم في إفتاء أو قضاء.

قال ابن حجر، ولا يجوز العمل بالضعيف بالمذهب، ويمتنع التلفيق في مسألة، كأن قلد مالكا في طهارة الكلب والشافعي في مسح بعض الرأس في صلاة واحدة، وأما في مسألة بتمامها بجميع معتبراتها فيجوز، ولو بعد العمل، كأن أدى عبادته صحيحة عند بعض الأئمة دون غيره، فله تقليده فيها حتى لا يلزمه قضاؤها.

(I'aanatutoolibiin Juz 4/hal 249)

(قوله: فائدة) أي في بيان التقليد.

وحاصل الكلام عليه أن التقليد هو الاخذ والعمل بقول المجتهد من غير معرفة دليله، ولا يحتاج إلى التلفظ به، بل متى استشعر العامل أن عمله موافق لقول إمام فقد قلده، وله شروط ستة:

الأول: أن يكون مذهب المقلد - بفتح اللام - مدونا.

الثاني: حفظ المقلد - بكسر اللام - شروط المقلد - بفتح اللام - في تلك المسألة.

الثالث: أن لا يكون التقليد مما ينقض فيه قضاء القاضي.

الرابع: أن لا يتتبع الرخص بأن يأخذ من كل مذهب بالاسهل، وإلا فتنحل ربقة التكليف من عنقه.قال ابن حجر: ومن ثم كان الاوجه أن يفسق به، وقال الرملي الاوجه أنه لا يفسق وإن أثم به.

الخامس: أن لا يعمل بقول في مسألة ثم يعمل بضده في عينها، كأن أخذ نحو دار بشفعة الجوار تقليدا لابي حنيفة، ثم باعها ثم اشتراها فاستحق واحد مثله بشفعة الجوار، فأراد أن يقلد الامام الشافعي ليدفعها، فإنه لا يجوز.

السادس: أن لا يلفق بين قولين تتولد منهما حقيقة واحدة مركبة، لا يقول كل من الامامين بها،

وزاد بعضهم شرطا سابعا: وهو أنه يلزم المقلد اعتقاد أرجحية أو مساواة مقلده للغير.

MUSHOLA

Deskripsi Masalah

Di daerah saya ada sebuah musola dua lantai yang mana tangganya di luar musola yang menjadikan orang yang berjamaah di lantai dua, kalau ingin sampai pada imam harus putar balik.Pertanyaan :

a.Syahkah sholatnya orang-orang yang berada di lantai dua itu ?

b.Kalau tidak syah apakah ada madzhab lain yang memperbolehkannay ?

c.Jika tidak ada madzhab lain yang memper bolehkanya bagai mana solusinya orang-orang yang sudah sholat bertahun-tahun di mushola itu ?

By: Shobrah Winarto

A.

بغية المسترشدين – (1 / 147)

(مسألة : ي) : لا يشترط في المسجد كون المنفذ أمام المأموم أو بجانبه بل تصح القدوة وإن كان خلفه ، وحينئذ لو كان الإمام في علو والمأموم في سفل أو عكسه كبئر ومنارة وسطح في المسجد ، وكان المرقى وراء المأموم بأن لا يصل إلى الإمام إلا بازورار بأن يولي ظهره القبلة ، صح الاقتداء لإطلاقهم صحة القدوة في المسجد ، وإن حالت الأبنية المتنافذة الأبواب إليه وإلى سطحه ، فيتناول كون المرقى المذكور أمام المأموم أو وراءه أو يمينه أو شماله ، بل صرح في حاشيتي النهاية والمحلي بعدم الضرر ، وإن لم يصل إلى ذلك البناء إلا بازورار وانعطاف ، نعم إن لم يكن بينهما منفذ أصلاً لم تصح القدوة على المعتمد ، ورجح البلقيني أن سطح المسجد ورحبته والأبنية الداخلة فيه لا يشترط تنافذها إليه ، ونقله النووي عن الأكثرين ، وهو المفهوم من عبارة الأنوار والإرشاد وأصله ، وجرى عليه ابن العماد والأسنوي ، وأفتى به الشيخ زكريا ، فعلم أن الخلاف إنما هو في اشتراط المنفذ ، وإمكان المرور وعدمه ، أما اشتراط أن لا يكون المنفذ خلف المأموم فلم يقله أحد ، ولو قاله بعضهم لم يلتفت لكلامه لمخالفته لما سبق ، وليس في عبارة ابن حجر ما يدل على الاشتراط ، وقوله في التحفة بشرط إمكان المرور ، مراده أن المنفذ في أبنية المسجد شرطه أن يمكن المأموم أن يمر المرور المعتاد الذي لا وثوب فيه ولا انحناء يبلغ به قرب الراكع فيهما ، ولا التعلق بنحو جبل ، ولا الممر بالجنب لضيق عرض المنفذ ، فإذا سلم المنفذ مما ذكر صح الاقتداء وإن كان وراء المأموم.

فتح المعين بشرح قرة العين بمهمات الدين – (2 / 26)

( و ) منها ( اجتماعهما ) أي الإمام والمأموم ( بمكان ) كما عهد عليه الجماعات في العصر الخالية ( فإن كانا بمسجد ) ومنه جداره ورحبته وهي ما خرج عنه لكن حجر لأجله سواء أعلم وقفيتها مسجد أو جهل أمرها عملا بالظاهر وهو التحويط لكن ما لم يتيقن حدوثها بعده وأنها غير مسجد لا حريمه وهو موضع اتصل به وهيىء لمصلحته كانصباب ماء ووضع نعال ( صح الاقتداء ) وإن زادت المسافة بينهما على ثلثمائة ذراع أو اختلفت الأبنية بخلاف من ببناء فيه لا ينفذ بابه إليه سمر أو كان سطحا لا مرقى له منه فلا تصح القدوة إذ لا اجتماع حينئذ كما لو وقف من وراء شباك بجدار المسجد ولا يصل إليه إلا بازورار أو انعطاف بأن ينحرف عن جهة القبلة لو أراد الدخول إلى الإمام

حاشية إعانة الطالبين – (2 / 34)

(قوله: لا مرقى له) أي للسطح منه. أي المسجد، وإن كان له مرقى من خارجه ولو كان له مرقى من المسجد وزال في أثناء الصلاة ضر، كما قاله القليوبي. (قوله: حينئذ) أي حين إذ كان ببناء لا منفذ له إليه، أو كان بسطح لا مرقى له إليه.

حاشية إعانة الطالبين – (2 / 35)

(قوله: وإذا وقف واحد إلخ) قال الكردي: قال الحلبي: لا بد أن يكون هذا الواقف يصل إلى الامام من غير ازورار وانعطاف، أي بحيث لا يستدبر القبلة بأن تكون خلف ظهره، بخلاف ما إذا كانت عن يمينه أو يساره فإنه لا يضر. ومثل تسمير الأبواب ما إذا كان بنحو سطح لا مرقى له من المسجد شرح م ر .

حاشية إعانة الطالبين – (2 / 32)

(وقوله: اجتماعهما) حاصل الكلام على ما يتعلق بهذا الشرط، أن لاجتماعهما أربع حالات.الحالة الاولى: أن يجتمعا في مسجد. الحالة الثانية: أن يجتمعا في غيره، وهذه تحتها أربع صور، وذلك لانهما إما أن يجتمعا في فضاء، أو في بناء، أو يكون الامام في بناء والمأموم في فضاء، أو بالعكس. الحالة الثالثة: أن يكون الامام في المسجد، والمأموم خارجه. الحالة الرابعة: بعكس هذه. ففي الاولى يصح الاقتداء مطلقا وإن بعدت المسافة بينهما، وحالت أبنية واختلفت، كأن كان الامام في سطح أو بئر، والمأموم في غير ذلك. لكن يشترط فيها أن تكون نافذة إلى المسجد نفوذا لا يمنع الاستطراق عادة، كأن كان في البئر مرقى يتوصل به إلى الامام من غير مشقة. ولا يشترط هنا عدم الازورار والانعطاف، ولا يكفي الاستطراق من فرجة في أعلى البناء، لان المدار على الاستطراق العادي. ولا يضر غلق أبوابها، ولو ضاع مفتاح الغلق، بخلاف التسمير، فيضر.

حاشية إعانة الطالبين – (2 / 34)

(قوله: لا مرقى له) أي للسطح منه. أي المسجد، وإن كان له مرقى من خارجه.

حاشية الجمل – (5 / 56)

فَقَالَ الْمُرَادُ نَافِذَةً نُفُوذًا يُمْكِنُ اسْتِطْرَاقُهُ عَادَةً فَلَا بُدَّ فِي كُلٍّ مِنْ الْبِئْرِ وَالسَّطْحِ مِنْ إمْكَانِ الْمُرُورِ مِنْهُمَا إلَى الْمَسْجِدِ عَادَةً بِأَنْ يَكُونَ لَهُمَا مَرْقًى إلَى الْمَسْجِدِ حَتَّى قَالَ فِي دِكَّةِ الْمُؤَذِّنِينَ لَوْ رُفِعَ سُلَّمُهَا امْتَنَعَ اقْتِدَاءُ مَنْ بِهَا بِمَنْ فِي الْمَسْجِدِ لِعَدَمِ إمْكَانِ الْمُرُورِ عَادَةً ، وَقَالَ أَيْضًا لَوْ وُقِفَ عَلَى جِدَارٍ فِي الْمَسْجِدِ لَمْ تَصِحَّ لَكِنَّ هَذَا يَقْتَضِي الِامْتِنَاعَ فِيمَا كَتَبْنَاهُ فِيمَا لَوْ وَقَفَ الْمَأْمُومُ عَلَى جِدَارِ الْمَسْجِدِ الَّذِي لَا حَائِلَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ صَحْنِ الْمَسْجِدِ الَّذِي هُوَ مَحَلُّ الْإِمَامِ إلَّا الْهَوَاءُ ا هـ . سم عَلَى الْمَنْهَجِ .وَقَوْلُهُ فَلَا بُدَّ فِي كُلٍّ مِنْ الْبِئْرِ وَالسَّطْحِ إلَخْ يُؤْخَذُ مِنْهُ أَنَّ سَلَالِمَ الْآبَارِ الْمُعْتَادَةِ الْآنَ لِلنُّزُولِ مِنْهَا لِإِصْلَاحِ الْبِئْرِ ، وَمَا فِيهَا لَا يَكْتَفِي بِهَا لِأَنَّهُ لَا يَسْتَطْرِقُ مِنْهَا إلَّا مَنْ لَهُ خِبْرَةٌ وَعَادَةٌ بِنُزُولِهَا بِخِلَافِ غَالِبِ النَّاسِ فَتَنَبَّهْ لَهُ ا هـ .

المجموع شرح المهذب – (4 / 309)

(الرابعة) يشترط لصحة الاقتداء علم المأموم بانتقالات الامام سواء صليا في المسجد أو في غيره أو أحدهما فيه والآخر في غيره وهذا مجمع عليه قال أصحابنا ويحصل له العلم بذلك بسماع الامام أو من خلفه أو مشاهدة فعله أو فعل من خلفه ونقلوا الاجماع في جواز اعتماد كل واحد من هذه الامور فلو كان المأموم أعمي اشترط أن يصلي بجنب كامل ليعتمد موافقته مستدلا بها

B

.حاشية إعانة الطالبين – (4 / 249)

قوله: فائدة) أي في بيان التقليد. وحاصل الكلام عليه أن التقليد هو الاخذ والعمل بقول المجتهد من غير معرفة دليله، ولا يحتاج إلى التلفظ به، بل متى استشعر العامل أن عمله موافق لقول إمام فقد قلده، وله شروط ستة: الاول: أن يكون مذهب المقلد – بفتح اللام – مدونا.الثاني: حفظ المقلد – بكسر اللام – شروط المقلد – بفتح اللام – في تلك المسألة. الثالث: أن لا يكون التقليد مما ينقض فيه قضاء القاضي. الرابع: أن لا يتتبع الرخص بأن يأخذ من كل مذهب بالاسهل، وإلا فتنحل ربقة التكليف من عنقه. قال ابن حجر: ومن ثم كان الاوجه أن يفسق به، وقال الرملي الاوجه أنه لا يفسق وإن أثم به. الخامس: أن لا يعمل بقول في مسألة ثم يعمل بضده في عينها، كأن أخذ نحو دار بشفعة الجوار تقليدا لابي حنيفة، ثم باعها ثم اشتراها فاستحق واحد مثله بشفعة الجوار، فأراد أن يقلد الامام الشافعي ليدفعها، فإنه لا يجوز. السادس: أن لا يلفق بين قولين تتولد منهما حقيقة واحدة مركبة، لا يقول كل من الامامين بها، وزاد بعضهم شرطا سابعا: وهو أنه يلزم المقلد اعتقاد أرجحية أو مساواة مقلده للغير. وقال في التحفة: الذي رجحه الشيخان جواز تقليد المفضول مع وجوه الفاضل، وزاد بعضهم أيضا شرطا ثامنا: وهو أنه لا بد في صحة التقليد أن يكون صاحب المذهب حيا، وهو مردود بما اتفق عليه الشيخان وغيرهما من جواز تقليد الميت وقالا – وهو الصحيح – قال في التحفة: ومن أدى عبادة اختلف في صحتها من غير تقليد للقائل بالصحة، لزمه إعادتها إذا علم بفسادها حال تلبسه بها، لكونه عابثا حينئذ، أما من لم يعلم بفسادها حال تلبسه بها، كمن مس فرجه مثلا، فنسيه أو جهل التحريم وقد عذر به، فله تقليد الامام أبي حنيفة رضي الله عنه في إسقاط القضاء إن كان مذهبه صحة صلاته، مع عدم تقليده له عند الصلاة.

C

.بغية المسترشدين – (1 / 71)

(مسألة : ك) : شك في قدر فوائت عليه لزمه الإتيان بكل ما لم يتيقن فعله كما قاله ابن حجر و (م ر) : وقال القفال : يقضي ما تحقق تركه ، والصوم كالصلاة ، ولو شك فيما فاته منهما هل كان قبل البلوغ أو بعده ؟ لم يلزمه شيء ، والضابط أنه متى لزمه شيء وشك هل أتى به أم لا ؟ لزمه لتيقن شغل الذمة ، وإن شك هل لزمه أم لا ؟ لم يلزمه إذ الأصل براءته منه.

www.promiseringsdesigns.com